Rabu, 14 Juli 2010

PROPOSAL MPH

TUGAS MATA KULIAH
METODE PENULISAN HUKUM ( MPH )
PROPOSAL





O l e h :

NUR SAEFODIN
( E0008201/ C )



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
A. Judul
TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN YANG BERDIRI SENDIRI DALAM PROSES PERSIDANGAN

B. Bidang Ilmu : Hukum Acara Pidana

C. Latar Belakang Masalah
Untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak terhadap perkara yang didakwakan, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut harus dengan dibuktikan alat-alat bukti yang cukup. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui proses pemeriksaan didepan sidang pengadilan (Darwan Prinst, 1998: 1320). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.
Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkam nilai pembuktian. Menilai sampai mana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2000: 273).
Menur¬ut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah :
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka disini hakim harus sangat cermat, teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini. Karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya. Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Ada syarat-syarat yang harus di penuhi agar alat bukti keterangan saksi dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan (M. Yahya harahap, 2000: 265-268), yaitu:
1. Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan diatas sumpah, hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.
2. Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP.
5. Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP.
Dengan demikian berarti apabila alat bukti keterangan saksi tidak memenuhi persyaratan seperti disebutkan di atas, maka keterangan saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Dari syarat sahnya keterangan saksi agar mempunyai nilai kekuatan pembuktian, salah satunya disebutkan bahwa antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain harus mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Tapi bagaimana apabila keterangan dari beberapa saksi yang dihadirkan di sidang pengadilan saling “berdiri-sendiri”, maksudnya adalah bahwa keterangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain di sidang pengadilan tidak terdapat kesesuaian atau tidak ada keterkaitan atau hubungan yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Lalu bagaimana kekuatan pembuktian dari kesaksian yang berdiri-sendiri tersebut?
Berdasarkan hal tersebut diatas, yaitu persoalan yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian kesaksian yang berdiri-sendiri, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum yang mempunyai judul: “TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN YANG BERDIRI SENDIRI DALAM PROSES PERSIDANGAN”
D. Perumusan Masalah
Untuk dapat memperjelas tentang permasalahan yang ada agar pembahasannya lebih terarah dan sesuai dengan tujuan serta sasaran yang diharapkan, maka penting sekali adanya perumusan masalah yang akan dibahas.
Perumusan masalah akan memudahkan penulis dalam pengumpulan data, menyusun data dan menganalisisnya, sehingga penelitian dapat dilakukan secara mendalam dan sesuai dengan sasaran yang telah ditentukan. Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan ?
2. Bagaimana tindakan hakim untuk mengambil putusan terhadap adanya kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian dari kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan.
b. Untuk mengetahui tindakan hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap adanya kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan?



2. Tujuan Subyektif
a. Untuk melengkapi tugas akademis guna memperoleh nilai UKD 3 (tiga) pada mata kuliah Metode Penulisan Hukum (MPH) di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta,
b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya mengenai kekuatan pembuktian dari kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan terhadap putusan pengadilan.

F. Manfaat Peneletian
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta untuk mengetahui kekuatan pembuktian dari kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan terhadap putusan pengadilan.
b. Dapat bermanfaat selain sebagai bahan informasi juga sebagai literatur atau bahan – bahan informasi ilmiah.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai kekuatan pembuktian dari kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan terhadap putusan pengadilan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi dalam kaitanya dengan perimbangan yang menyangkut masalah ini.

G. Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang teori sistem pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah, alat-alat bukti yang tersedia menurut Undang-undang sangat relatif. Oleh karena itu, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut.
Berikut ini beberapa teori mengenai sistem pembuktian, diantaranya sebagai berikut:
1. Conviction-in Time
Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
2. Conviction-raisonee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”, dimana harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
2. Pembuktian menurut Undang-undang secara positif (Positief wettelijk bewijstheorie)
Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan slah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan Undnag-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”.

3. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (Negatief wettelijk Stelsel)
Sistem ini “menggabungkan“ ke dalam dirinya secara terpadu antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang.
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (Negatief wettelijk Stelsel). Dimana untuk menetukan salah atau tidaknya terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, telah diatur pada Pasal 183 KUHAP, yaitu harus:
- Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah“.
- Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “ memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
b. Tinjauan umum tentang alat bukti dan kekuatan pembuktian
Alat bukti yang sah menurut Undang-undang diatur secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai pembuktian terhadap kesalahan terdakwa karena tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.
Adapun alat bukti yang sah menurut Undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1), adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Selanjutnya akan diuraikan alat-alat bukti tersebut baik yang berhubungan dengan penerapan alat-alat bukti itu maupun yang berhubungan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti tersebut.
1. Keterangan saksi
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Agar suatu keterangan saksi atau kesaksian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat, dengar, atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (pasal 1 butir 27 KUHAP)
- Keterangan seorang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang sah lainnya.
- Bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari pemikiran.
- Harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah.
- Harus diberikan di muka sidang pengadilan.
- Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti bila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.
Macam-macam saksi yaitu
- Saksi mahkota
- Saksi a de charge
- Saksi a charge
Dalam menilai kebenaran atas keterangan beberapa saksi sebagai bukti, maka hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan memperhatikan hal-hal berikut (pasal 185 ayat 6 KUHAP):
- Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
- Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
- Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi. Ditinjau dari segi ini, keterangan saksi yang diberikan dalam sidang pengadilan dapat dikelompokkan pada dua jenis:
1. Keterangan yang diberikan “tanpa sumpah”.
Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:
a. Karena sakit menolak bersumpah;
b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah;
c. Karena hubungan kekeluargaan;
d. Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP.
2. Keterangan saksi yang “disumpah”.
Maka terhadap kekuatan pembuktiannya:
a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas;
b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.
2. Keterangan ahli
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan di bawah sumpah (Pasal 186 KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu bentuk laporan (Pasal 133 jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).
Jadi, seorang ahli itu dapat menjadi saksi. Hanya saja, saksi ahli ini tidak mendengar, mengalami dan/atau melihat langsung peristiwa pidana yang terjadi. Berbeda dengan ”saksi” yang member keterangan tentang apa yang didengar, dialami dan/ atau dilihatnya secara langsung terkait dengan peristiwa pidana yang terjadi. Sama halnya dengan seorang ”saksi”, menurut hukum, seorang saksi ahli yang dipanggil di depan pengadilan memiliki kewajiban untuk:
- Menghadap/ datang ke persidangan, setelah dipanggil dengan patut menurut hukum;
- Bersumpah atau mengucapkan janji sebelum mengemukakan keterangan (dapat menolak tetapi akan dikenai ketentuan khusus);
- Memberi keterangan yang benar bila seorang saksi ahli tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka dia dapat dikenai sanksi berupa membayar segala biaya yang telah dikeluarkan dan kerugian yang telah terjadi. Akan tetapi seorang ahli dapat tidak menghadiri persidangan jika memiliki alasan yang sah.
Menurut pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/ penasehat hukum. Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan. Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
3. Alat bukti surat
Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan dengan sumpah. Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti, yaitu:
1. Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan mengikat bagi hakim (volledig en beslissende bewijskracht). Namun demikian, kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Pada akhirnya, keyakinan hakimlah yang menentukan kekuatan pembuktiannya.
4. Alat Bukti Petunjuk
Menurut pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya.
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dapat diberikan di dalam dan di luar sidang. Menurut pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Keterangan yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti sidang selama didukung oleh suatu alat bukti yang sah lainnya. Adapun keterangan terdakwa sebagai alat bukti, tanpa disertai oleh alat bukti lainnya, tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal ini merupakan ketentuan beban minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Alat-alat bukti tersebut, kecuali alat bukti surat, memiliki kekuatan pembuktian bebas atau tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak dilekati oleh kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Memang pada prinsipnya, ajaran pembuktian tidak mengenal alat bukti yang sempurna dan mengikat kecuali bagi Negara yang menganut system pembuktian menurut Undang-undang secara positif.
Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

2. Kerangka Pemikiran

pembuktian


Pasal 184 KUHAP:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa


saksi keterangan yang berdiri sendiri




kekuatan pembuktian dan
implikasi yuridis

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2000: 273).
Adapun alat bukti yang sah menurut Undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1), adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Agar suatu keterangan saksi atau kesaksian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat, dengar, atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (pasal 1 butir 27 KUHAP)
- Keterangan seorang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang sah lainnya.
- Bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari pemikiran.
- Harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah.
- Harus diberikan di muka sidang pengadilan.
- Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti bila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.
Dari syarat sahnya keterangan saksi agar mempunyai nilai kekuatan pembuktian, salah satunya disebutkan bahwa antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain harus mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Namun, dari saksi yang dihadirkan di sidang pengadilan belum tentu terdapat saling kesesuaian atau keterkaitan serta hubungan yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Kemudian, bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan serta tindakan hakim untuk mengambil putusan terhadap adanya kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan?
H. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. (Sutrisno Hadi, 2002 : 4).
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.
Beberapa hal yang menjadi bagian dari metode dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan menganalisis data – data, studi kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Selain itu dalam penulisan hukum ini penulis juga mengunakan jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris (sosiolegal research). Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 52).
Di dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dengan melakukan wawancara terhadap hakim berkaitan dengan adanya keterangan saksi yang berdiri dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini hakim di Pengadilan Negeri Surakarta), kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur.
Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keterangan saksi yang berdiri sendiri dalam persidangan. Selain itu, bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku (Burhan Ashshofa, 2001: 20-210). Sehingga dapat diperoleh data kualitatif yang merupakan sumber dari deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan demikian alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
2. Lokasi penelitian.
Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah.
Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Surakarta yang beralamat di Jalan Brigadir Jenderal Slamet Riyadi Nomor 290 Surakarta.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah:


a. Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Surakarta.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data primer, data ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
4. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian hukum (skripsi) ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh langsung dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.
Dalam hal ini yang menjadi narasumber adalah Hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini diperoleh dari:
1) Bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan (reglement).
2) Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashshofa, 2001: 95), dalam hal ini wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan adanya keterangan saksi yang berdiri sendiri dalam proses persidangan. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu pencari informasi yang biasa disebut dengan pewawancara atau interviewer, dalam hal ini adalah penulis. Dalam pihak lain adalah informan atau responden, dalam hal ini adalah hakim-hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
Teknik pelaksanaan wawancara adalah dengan wawancara tidak berencana (tidak berpatokan), yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan tidak terikat pada aturan-aturan yang ketat. Alat yang digunakan adalah pedoman wawancara yang memuat pokok-pokok yang ditanyakan.
b. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.
6. Tehnik analisis Data dan Model Analisis
Tehnik analisis data adalah suatu uraian tentang cara – cara analisis, yaitu kegiatan mengumpulkan data kemudian diedit dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Analisis kualitatif ini menghasilkan data deskriptif yang merupakan kata – kata , tulisan atau uraian dari orang lain dan perilaku yang diamati. ( Maria W.W Sumarjono, 1989 : 16 )
Setelah data yang diperlukan dalam penelitian terkumpul maka langkah selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif model interaktif ( interactive model of analysis ). Pengertian model interaktif tersebut adalah bahwa data yang terkumpul akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu : mereduksi data, menyajikan data, dan kemudian menarik kesimpulan. Selain itu, dilakukan pula proses siklus antara tahap – tahap tersebut, sehingga data yang terkumpulkan berhubungan satu dengan lainya secara sistematis. ( HB. Sutopo,1991 : 13)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema :










( Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman, 1992 : 20 )

Kegiatan kompenen itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Reduksi Data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dikepustakaan. Reduksi tersebut berlangsung terus menerus bahkan sebelum data benar – benar terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir lengkap tersusun.
- Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
- Penarikan Kesimpulan
Dari permulaan pengumpulan data seorang penganalisis mulai mencari arti benda – benda, mencatat keteraturan, pola – pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab – akibat dan proporsi. Kesimpulan – kesimpulan tetap akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula – mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengarah pada pokok. Kesimpulan – kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penulis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan – catatan, atau mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali.( Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992 : 19)
Peneliti harus bergerak diantara keempat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak – balik diantara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan / verifikasi selama sisa waktu penelitiannya. Aktivitas yang dilakukan dengan proses itu komponen – komponen tersebut akan didapat yang benar – benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian direduksi yang berupa klasifikasi dan seleksi. Kemudian kita ambil kesimpulan dan langkah tersebut tidak harus urut tetapi berhubungan terus sehingga membuat siklus. ( H. B. Sutopo, 1991 : 13)
I. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan berlangsung dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, dengan rincian jadwal sebagai berikut :

No. kegiatan bulan
mei juni
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan judul X
2 Penyusunan proposal X X
3 Pengumpulan data X X
4 AnĂ¡lisis data X X X
5 Penulisan laporan akhir X


J. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Sistematika memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan hukum terbagi menjadi empat bab yang saling berhubungan. Setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab yang masing-masing merupakan pembahasan dari bab yang bersangkutan.
Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian yaitu mengenai kekuatan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam persidangan.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian serta untuk menghindari kemungkinan penyimpangan dari permasalahan pokok yang diteliti.
C. Tujuan Penelitian
Berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian. Tujuan peneliti dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
- Tujuan obyektif
- Tujuan subyektif
D. Manfaat Penelitian
Merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian. Terdiri dari 2 (dua), yaitu:
- Manfaat teoritis
- Manfaat praktis


E. Metode Penelitian
Mencakup jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Pada Sistematika Penulisan Hukum akan diuraikan secara garis besar atau gambaran menyeluruh tentang hal-hal yang akan dibahas di dalam penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: tinjauan umum tentang pembuktian dan alat bukti serta tinjauan umum tentang alat bukti keterangan saksi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan mengenai kekuatan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam persidangan, serta menguraikan tindakan hakim untuk menmgambil putusan terhadap adanya kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan dalam hal ini hakim di Pengadilan Negeri Surakarta.
BAB IV : PENUTUP
Bagian Penutup merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisi tentang kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraian dalam bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Daftar Pustaka

Adami Chazawi. 2006. Kemahiran dan Keterampilan Praktikum Hukum Pidana. Malang: Bayumedia.
Andi Hamzah, S.H. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hadari Djanawi Tahir. 1981. Pokok-Pokok Pikiran dalam KUHAP. Bandung: Alumni.
Soerjono Soekanto. Beberapa Masalah Hukum dalam Rangka Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
KUHP dan KUHAP. Cetakan III 2008. Bandung: Citra Umbara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar